PUJI – PUJIAN SETELAH ADZAN

Puji pujian Setelah Adzan

Salah satu tradisi yang melekat pada warga muslim Indonesia ialah puji – pujian yang di lantunkan setelah adzan. Hal ini dilakukan untuk menunggu kedatangan Imam dan warga masyarakat yang hendak shalat berjama’ah, baik di Masjid, Surau, atau Mushala. Pada umumnya, puji – pujian itu di lakukan bersama – sama. Bahkan, tidak jarang dengan menggunakan pengeras suara. Sedangkan yang dilantunkan dalam pujian – pujian itu berupa dzikir, doa, shalawat, syi’ir yang memuat kata – kata hikmah Untuk motivasi ibadah, serta sanjungan – sanjungan pada Allah SWT dan Rasulnya.

Pujian adalah sanjungan untuk Allah SWT. Dalam prakteknya, pujian bisa jadi kalimat yang mengandung pujian atau sanjungan. Namun, yang sering kita dengar adalah lantunan Shalawat Nabi dengan beragam nasyidnya. Kadang kita juga mendengar ungkapan ajaran/pesan moral dari walisongo, walaupun dengan bahasa yang kental.

Pujian – pujian setelah adzan merupakan strategi Ulama pendahulu kita, agar dapat mengokohkan syi’ar Islam ditengah masyarakat dan menancapkan ajaran agama Islam kedalam hati masyarakat dengan muatan yang terkandung didalamnya. Selain itu, pujian – pujian itu dilakukan guna mengisi waktu sebelum dilaksanakaan jamaah. Sebab, untuk mencegah jamaah melakukan hal yang kurang berguna di tempat ibadah, maka berdzikir kepada Allah, bershlawat Nabi ataupun  menyenandungkan syi’ir bermuatan hikmah ajaran Islam akan menjadi lebih baik untuk dilakukan.

  1. Dasar Legalitas

Pada dasarnya setiap manusia diperintahkan untuk memperbanyak dzikir kepada Allah SWT dimanapun ia berada, tentunya selain tempat yang dilarang untuk melakukan dzikir semisal WC ataupun toilet. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا

Hai orang – orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan dzikir sebanyak – banyaknya”. (QS. Al Ahzab : 41)

Nabi SAW juga menyinggung sebuah  hadits yang berkaitan dengan do’a antara adzan dan iqamat,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَ الْإِقَامَةِ مُسْتَجَابٌ فَادْعُوْا

“Doa antara adzan dan iqamat itu diijabahi, maka berdo’alah kalian”. (HR. Imam empat)[1]

Sedangkan syi’ir, dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa syi’ir dapat menyegarkan kejiwaan seseorang. Imam Muslim menyebutkan dalam sahihnya,

عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : رَدَفْتُ رَسُزْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ : هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَّيَةَ بْنِ أَبِى الصَّلْتِ شَيْءٌ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ, قَالَ : هِيْه فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ : هِيْه  ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ : هِيْه حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِئَةَ بَيْتٍ

“Dari ‘Amru ibnu asy Syarid dari ayahnya , berkata , ’’pada suatu hari aku diboncengi oleh Rasulullah SAW , kemudian Beliau bertanya padaku ‘’ Apakah engkau hafal sya’irnya Umayah Ibnu Abi Shalt ? ‘’ . Aku menjawab ‘’ ya ‘’.Lalu Beliau berkata : ‘’ Lantunkanlah untukku ! ‘’ . Lalu aku melantunkan satu bait syair . Kemudian Beliau berkata : ‘’ Tambah lagi ‘’. Aku pun melantunkanlagi . Beliau berkata ‘’ Tambah lagi ! ‘’ . Hingga kulantunkan seratus kali’’ . (HR.Muslim)[2]

Imam Qurthubi menyatakan hadits ini merupakan dalil seruan Nabi untuk menjaga dan memperhatikan sya’ir jika bermuatan hikmah dan arti – arti Islami . Sebab dalam menilai sya’ir  , Rasulullah SAW mengungkapkan sebuah pandangan yang di utarakan kepada istrinya , Aisyah r.a. saat ditanya mengenai sya’ir . Rasulullah menjawab “sya’ir adalah untaian kata , baiknya sya’ir selayaknya baiknya kata – kata , dan buruknya sya’ir seperti buruknya perkataan’’. (HR. Bukhari ).

Sedangkan melantunkan sya’ir di masjid dilakukan pada masa Rasulullah SAW oleh para sahabat . Imam muslim dalam karyanya meriwayatkan,

عَنِ الزُّهْرِ ى عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرٌ فِى الْمَسْجِدِ وَحَسَانُ يَنْشُدُ الشِّعْرَ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنْتُ أَنْشَجُ فِيْهِ, وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكُمْ, ثُمَّ الْتَفَتْ إِلَى أَبِى هُرَيْرَةَ, فَقَالَ أَنْشَدُكَ بِاللهِ أَسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ) يَقُوْلُ أَجِبْ عَنِّى اللّهُمَّ أَيَّدَهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِ قَالَ اللّهُمَّ نَعَمْ

“Dari Zuhri, dari Said ibn Musayyab, ia berkata : “pada suatu hari ketika Umar berjalan bertemu Hasan Ibn Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir  di masjid, lalu Umar menegurnya. Namun Hasan menjawab, “Aku telah melantunkan sya’ir di masjid yang didalamnya ada seseorang yang kemuliaannya lebih mulia dari anda”. Kemudian ia menoleh pada Abu Hurairah, Hasan melanjutkan perkataannya, “Bukankah kamu telah mendengar sabda Rasulullah SAW? Jawablah dariku, ya Allah,  mudah – mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al Qudus”. Lalu Umar menjawab, “Ya Allah benar (aku telah mendengarnya)”. (HR. Muslim)[3]

  1. Komentar Ulama

Dalam karyanya Irsyadul Mu’minin, Syaikh Ismail Utsman Ibn Zain berkomentar mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i,

 “Kami meriwayatkan dari Anas ra, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak”. (HR. Abu Dawud, at Tirmdzi, an Nasa’i, Ibnu as Sunni dan yang lainnya)

Dalam komentarnya, Saikh Ismail Utsman Ibn Zain mengatakan, “makna yang bisa diambil dari hadits riwayat an Nasa’i diatas adalah hukum kebolehan melantunkan sya’ir – sya’ir yang mengandung pujaan – pujaan, nasehat – nasehat, pelajaran budi pekerti, dan ilmu yang bermanfaat di masjid, dan tentunya dilakukan dengan suara keras dalam sebuah perkumpulan”.[4]

Menurut al Ghazali dan al Izzudin ibn Abdissalam, “Bersyair menjadi sebuah kesunahan jika dapat menggerakan seseorang terhadap ibadah sunah serta dapat mengingatkan seseorang atas akhirat. Lebih jelasnya, setiap syair yang mengandung perintah untuk melakukan ketaatan, atau mengandung hikmah, etika – etika yang snatun, atau zuhud dan hal – hal yang tergolong kebaikan seperti anjuran taat, sunah atau menjauhi perbuatan maksiat, maka mengarang, menyenandungkan, atau serta memperdengarkannya dihukumi sunah, sebagaimana keterangan yang disampaikan Ulama, dan hal itu sudah jelas. Sebab, sarana yang mengantarkan pada ketaatan juga dikatakan taat”.[5]

Sementara itu, al Adzra’i  mengungkapkan uraian yang dipaparkan al Mawardi dengan penuh kagum. Al Mawardi mengklarifikasi hukum sya’ir menjadi tiga :

  • Mustahab (sunah), jika syair itu menyuruh agar berhati – hati atas dunia, menjadikan suka terhadap akhirat, atau mendorong agar beretika santun.
  • Mubah (boleh), jika sya’ir itu tidak memuat kejelekan dan dusta.
  • Mahdlur (dilarang), jika sya’ir itu mengandung kejelekan dan dusta.[6]

Referensi :

[1] Mustamir, Marzuqi. Muqtathafath li Ahli al Bidayat hal. 65

[2] Imam Muslim, Abu al Hasan Ibnu Hajaj Ibnu Muslim al Qusairi an Naisaburi. Shahih Muslim

[3] Imam Muslim, Abu al Hasan Ibnu Hajaj Ibnu Muslim al Qusairi an Naisaburi. Shahih Muslim

[4] Al Yamani, Isma’il Utsman Ibnu Zain. Irsyad al Mu’minin bi Masail Mantsurat

[5] Ibid, Mausu’ah Yusufiyyah

[6] Ibid, Mausu’ah Yusufiyyah

Tinggalkan komentar